NUSATODAY.ID – Indonesia memiliki segala yang dibutuhkan untuk menjadi kekuatan besar dalam sektor agro-maritim. Laut yang luas, tanah yang subur, hasil tangkapan yang melimpah, dan budaya bertani serta melaut yang telah hidup selama berabad-abad. Namun pertanyaan paling mendasar dalam menghadapi tantangan hilirisasi hari ini bukan sekadar tentang potensi—melainkan tentang pengelolaan.
Apakah Indonesia sudah siap? Atau lebih tepatnya: apakah aset-aset yang kita miliki sudah benar-benar dikelola dengan logika dan arah yang tepat?
Melalui pendekatan manajemen aset, hilirisasi tidak bisa hanya dilihat sebagai proyek pembangunan pabrik atau mesin pengolah. Ia harus dimulai dari kesadaran bahwa bangsa ini memiliki kekayaan yang sangat besar—yang selama ini hanya digali di permukaan. Tanpa pengelolaan aset yang terstruktur dan terintegrasi, hilirisasi hanya akan menjadi jargon pembangunan tanpa pijakan yang kuat.
Kekayaan alam kita memang melimpah, namun belum semua digunakan dengan bijak. Lahan-lahan pertanian masih banyak yang tidak terkelola optimal. Laut yang luas belum sepenuhnya menjadi sumber kesejahteraan nelayan. Komoditas unggulan kita masih sering diekspor dalam bentuk mentah, hanya untuk kembali dalam bentuk produk jadi dengan harga berlipat.
Di sisi lain, infrastruktur pengolahan belum tersebar merata. Banyak sentra produksi komoditas tidak terhubung langsung dengan industri hilir. Jalan, listrik, fasilitas penyimpanan, dan teknologi pengolahan kerap tidak hadir di tempat yang seharusnya menjadi titik tumbuh. Aset fisik belum dikembangkan sebagai bagian dari rantai nilai.
Sumber daya manusia pun belum sepenuhnya siap. Petani, nelayan, dan pelaku UMKM masih membutuhkan banyak dukungan untuk memahami proses produksi bernilai tambah. Tanpa pelatihan, akses teknologi, dan penguatan kelembagaan, sulit membayangkan mereka bisa menjadi bagian dari sistem industri yang modern dan efisien.
Logika manajemen aset juga menyentuh bagaimana kita melihat kebijakan dan tata kelola. Hilirisasi tidak bisa berjalan jika kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah masih bekerja dalam silo masing-masing. Komoditas tidak mengenal batas administrasi; ia butuh sistem lintas sektor yang bekerja sebagai satu kesatuan.
Pasar, sebagai bagian dari aset strategis, juga perlu dikelola. Produk hilir tidak akan hidup tanpa pasar yang sehat, stabil, dan adil. Di sinilah pentingnya peran negara dalam memastikan akses, informasi, dan insentif tersedia bagi pelaku di seluruh rantai pasok.
Semua ini menunjukkan bahwa hilirisasi bukan hanya soal pembangunan industri. Ia adalah transformasi cara berpikir: dari melihat komoditas sebagai hasil panen semata, menjadi melihatnya sebagai aset berkelanjutan yang harus dikelola dari hulu ke hilir, dari sumber hingga pasar.
Kita telah memiliki modal. Yang dibutuhkan sekarang adalah manajemen. Dan manajemen yang dimaksud bukan sekadar administratif, melainkan manajemen yang memahami bahwa kekayaan alam, infrastruktur, manusia, kelembagaan, dan pasar—semuanya adalah aset yang saling terkait dan harus ditata sebagai satu sistem.
Hilirisasi agro-maritim baru akan berhasil bila bangsa ini mampu mengelola asetnya dengan logika yang jelas, arah yang terukur, dan komitmen yang konsisten. Tanpa itu, kita hanya akan terus menjual mentah dan membeli jadi.







