NUSATODAY.ID – Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menggelar diskusi publik bertema “Ekonomi Kerakyatan dan Pengakuan Masyarakat Adat” di SleepLess Owl, Jakarta Selatan. Acara ini mempertemukan para pemangku kepentingan dari berbagai sektor — mulai dari akademisi, ekonom, hingga tokoh masyarakat adat — untuk mendorong percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat yang telah mandek lebih dari satu dekade di DPR RI.
Perwakilan Koalisi, Abdon Nababan, dalam pembukaan diskusi, menegaskan pentingnya pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai bentuk pengakuan terhadap sistem ekonomi masyarakat adat yang berbasis nilai budaya dan kelestarian lingkungan. Ia menyoroti bagaimana sistem ekonomi adat selama ini berbenturan dengan model ekonomi ekstraktif yang merusak.
“Kami ingin masyarakat adat menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar objek. Mereka tidak menolak investasi, asalkan tidak merusak tanah adat dan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan,” tegas Abdon.
Annas Raden Syarif dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengungkapkan bahwa masyarakat adat memiliki peran strategis dalam menopang ekonomi nasional. Berdasarkan pemetaan AMAN, terdapat lebih dari 1.000 komunitas adat yang menguasai wilayah seluas 33,6 juta hektar, dengan potensi ekonomi hingga Rp1 miliar per komunitas.
“Pengakuan hak atas tanah adat dengan basis peta yang jelas akan mendorong tumbuhnya ekonomi lokal dan pembangunan berkelanjutan,” tambahnya.
Dari sisi legislatif, Sekretaris Fraksi PKS DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, menyambut baik inisiatif diskusi ini dan menekankan pentingnya definisi masyarakat adat yang jelas dalam RUU agar tidak menimbulkan konflik atau tumpang tindih klaim.
“Masyarakat adat telah hidup jauh sebelum klaim administratif negara muncul. Potensi ekonomi mereka sangat besar dan harus diberdayakan lewat kebijakan yang adil dan berpihak,” ujar Ledia.
Nailul Huda, Direktur Ekonomi dari CELIOS, turut memberikan perspektif dari sisi ekonomi. Ia menyoroti bahwa sistem ekonomi ekstraktif yang kini dominan bersifat tidak berkelanjutan. Sebaliknya, ekonomi masyarakat adat lebih inklusif dan kolektif, serta dapat menjadi alternatif sistem ekonomi masa depan.
“Dalam sistem adat, manusia adalah bagian dari komunitas, bukan hanya tenaga kerja. Ini bisa menjadi paradigma baru dalam penghitungan nilai ekonomi nasional,” jelas Huda.
Dukungan terhadap RUU Masyarakat Adat juga ditegaskan oleh anggota DPR RI Fraksi PKS, Riyono, yang menyampaikan bahwa partainya berkomitmen mengawal proses legislasi RUU ini.
“Naskah akademik sudah ada, namun belum dibahas bersama pemerintah, sehingga tidak bisa di-carry over. Kami akan perjuangkan pembahasan lintas partai dan pendekatan,” tegas Riyono.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Zuzy Anna, menekankan pentingnya memperkuat institusi sosial masyarakat adat sebagai modal utama dalam menciptakan nilai ekonomi berkelanjutan.
“Mereka punya produktivitas tinggi, bahkan jika diukur dengan standar UMR, bisa lebih besar. Kekuatan ekonomi masyarakat adat terletak pada institusi sosial yang mereka miliki,” paparnya.
Sebagai penutup, seluruh narasumber sepakat bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah langkah krusial untuk membangun ekonomi kerakyatan berbasis keadilan, kearifan lokal, dan keberlanjutan. Koalisi berkomitmen melanjutkan advokasi lintas fraksi serta memperluas dukungan publik demi terciptanya payung hukum yang melindungi hak-hak masyarakat adat secara menyeluruh.











