Dari Sembako Tambang hingga Status “Anak Emas” Kabinet
NUSATODAY.ID – Dalam konstelasi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, sosok Bahlil Lahadalia menempati posisi yang menarik. Sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil kini mengelola sektor yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional — sumber daya alam, energi, dan tambang.
Sektor ini sering disebut sebagai “sembako baru” bagi Indonesia: kebutuhan strategis yang menopang stabilitas harga, pasokan energi, dan keberlanjutan pembangunan.
Perjalanan Bahlil di kabinet bukan tanpa warna. Berawal dari Menteri Investasi pada era Presiden Joko Widodo, ia dikenal sebagai figur yang gesit, komunikatif, dan memiliki kemampuan negosiasi yang kuat dengan pelaku usaha.
Di era Prabowo, peran itu berkembang. Ia dipercaya mengelola sektor energi dan tambang — bidang yang bukan hanya teknis, melainkan juga politis dan strategis.
Keputusan Presiden menunjuk Bahlil di posisi ini menunjukkan tingkat kepercayaan yang tinggi. Ia dianggap memahami seluk-beluk investasi, perizinan, serta dinamika kepentingan antara pemerintah, pelaku industri, dan daerah penghasil tambang.
Kebijakan hilirisasi yang diusung pemerintah menjadi ujian utama bagi Bahlil. Ia diharapkan mampu memastikan sumber daya alam Indonesia tidak hanya diekspor mentah, tetapi juga memberi nilai tambah bagi ekonomi nasional.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Prabowo menekankan pentingnya pengelolaan tambang yang berkeadilan dan berkelanjutan — agar hasil bumi benar-benar menjadi “sembako” bagi kesejahteraan rakyat, bukan hanya sumber keuntungan segelintir pihak.
Bahlil memainkan peran sentral dalam agenda ini. Ia menjadi jembatan antara visi besar presiden dan realitas birokrasi di lapangan. Dalam praktiknya, ia juga harus menavigasi kepentingan para pemain lama di sektor tambang yang selama ini mendominasi perekonomian.
Dalam dunia politik kekuasaan, hubungan antara presiden dan menteri sering kali diwarnai kalkulasi. Namun, dalam kasus Bahlil, ada dimensi lain: kepercayaan personal dan loyalitas operasional.
Prabowo tampak memberi ruang gerak luas bagi Bahlil untuk mengeksekusi kebijakan strategis. Beberapa penugasan penting — mulai dari restrukturisasi subsidi energi, penataan izin tambang, hingga penertiban praktik ilegal — ditugaskan langsung kepadanya.
Kepercayaan semacam ini membuat publik menilai bahwa Bahlil telah menjadi salah satu “anak emas” Presiden Prabowo. Sebutan itu tentu simbolik, tetapi mencerminkan kedekatan politik dan keyakinan bahwa Bahlil mampu menerjemahkan visi presiden ke dalam kebijakan konkret.
Namun posisi istimewa juga membawa risiko. Sektor energi dan pertambangan sarat kepentingan dan sorotan publik.
Setiap kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada rakyat, atau dianggap terlalu akomodatif terhadap pengusaha besar, akan segera menjadi bahan kritik. Dalam konteks itu, loyalitas politik tidak lagi cukup — yang dibutuhkan adalah akuntabilitas, transparansi, dan kinerja nyata.
Prabowo dikenal menghargai loyalitas, tetapi lebih menghormati hasil kerja. Karena itu, nasib Bahlil di kabinet akan bergantung pada kemampuannya menjaga keseimbangan antara kepentingan nasional, kepentingan ekonomi, dan amanat publik.
Bahlil Lahadalia kini berdiri di persimpangan penting. Ia bukan hanya pengelola sumber daya alam, melainkan juga pengemban misi politik Presiden: mewujudkan kedaulatan energi dan keadilan ekonomi.
Apakah ia benar “anak emas” Prabowo?
Barangkali iya — tetapi bukan karena kedekatan pribadi semata.
Lebih dari itu, karena Bahlil adalah operator kepercayaan yang menanggung beban besar: memastikan “sembako tambang” benar-benar memberi makan bangsa, bukan hanya memperkaya segelintir elite.
Catatan : Editorial











