HEADLINESEDITORIAL

Bahlil Lahadalia, Operator Kepercayaan Presiden Prabowo Subianto

×

Bahlil Lahadalia, Operator Kepercayaan Presiden Prabowo Subianto

Sebarkan artikel ini
Gambar : Bahlil Lahadalia dengan latar belakang Istana Negara (Ist).

NUSTODAY.D – Bahlil Lahadalia bukan sekadar menteri investasi. Ia adalah operator kepercayaan—seorang yang ditugaskan untuk memastikan mesin ekonomi negara berputar tanpa tersedak oleh kepentingan sempit. Tugasnya monumental: mengubah “sembako tambang”—nikel, tembaga, bauksit, dan batu bara—menjadi bahan bakar kesejahteraan rakyat, bukan sekadar sumber rente bagi segelintir elite yang akrab dengan lingkar kekuasaan.

Kepercayaan yang dititipkan kepadanya bukan karpet merah, melainkan jalan terjal yang penuh ranjau politik dan godaan modal. Dalam setiap keputusan investasi, Bahlil memikul paradoks kekuasaan: antara nasionalisme ekonomi dan pragmatisme investor; antara kedaulatan sumber daya dan dorongan pertumbuhan cepat yang kerap menutup mata pada ketimpangan.

Hilirisasi, jargon yang kini menjadi mantra pembangunan, di tangannya diuji realitasnya. Apakah ia benar-benar jalan menuju industrialisasi yang berdaulat, atau hanya cat ulang dari model lama: ekspor sumber daya dengan wajah baru? Di atas kertas, nilai tambah naik. Tapi di lapangan, di kampung-kampung tambang dari Sulawesi sampai Halmahera, masyarakat masih menatap lubang-lubang bekas galian yang tak menghidupi, melainkan meninggalkan debu, limbah, dan janji yang menguap.

Bahlil sering tampil percaya diri, membanggakan kemudahan investasi, dan menegaskan keberpihakan pada pemerataan ekonomi. Namun di bawah retorika itu, siapa yang benar-benar diuntungkan? Pabrik pengolahan memang berdiri megah, tetapi pekerjanya mayoritas tenaga asing. Pemerintah daerah menerima remah pajak, sementara rakyat sekitar tetap berkubang dalam lumpur tambang yang tak berujung.

Ironinya, kebijakan investasi yang digadang-gadang sebagai pembuka lapangan kerja justru menutup ruang hidup banyak warga. Tanah adat tergadai atas nama kemajuan. Sungai yang dulu sumber air kini berubah warna, dan udara di sekitar kawasan industri makin sesak. Di sini, kata “kemakmuran” terasa seperti ironi yang diproduksi oleh papan reklame.

Dalam kondisi seperti ini, Bahlil bukan hanya pejabat; ia adalah simbol dari pertaruhan moral sebuah pemerintahan—apakah kekuasaan berani menolak jalan pintas rente, atau terus menjadi mediator yang menenangkan investor dan menenangkan rakyat dengan kata-kata manis.

Ia bisa memilih untuk menjadi pelaksana amanah sejati: menegakkan tata kelola investasi yang berpihak, menolak dominasi oligarki tambang, dan memastikan setiap izin usaha membawa manfaat nyata bagi masyarakat. Atau, ia bisa menempuh jalan yang lebih mudah: menjadi juru bicara yang piawai membungkus ketimpangan dengan narasi kemajuan.

Sejarah selalu menulis dengan tinta moral. Dan ketika debu tambang nanti mereda, publik akan menilai: apakah Bahlil adalah operator kepercayaan yang menambang keadilan, atau justru pelayan kekuasaan yang menambang legitimasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!