EDITORIALHEADLINES

Bayangan Kekuasaan di Balik Sufmi Dasco Ahmad

×

Bayangan Kekuasaan di Balik Sufmi Dasco Ahmad

Sebarkan artikel ini
Gambar : Dasco Sufmi Ahmad latar belakang Istana Negara (Ist).

NUSATODAY.ID – Dalam politik Indonesia, tak banyak orang yang bisa berada begitu dekat dengan pusat kekuasaan tanpa menjadi sorotan utama. Sufmi Dasco Ahmad adalah salah satu dari sedikit nama itu — sosok yang tak banyak berbicara keras, tapi setiap langkahnya bergetar hingga ke jantung parlemen. Di mata publik, ia tampak sebagai Wakil Ketua DPR; di mata partai, strateg utama Gerindra; dan di mata Prabowo Subianto, ia adalah tangan yang bekerja di ruang yang tak selalu terlihat.

Setiap kekuasaan besar membutuhkan penjaga keseimbangannya. Prabowo punya banyak panglima, tapi hanya sedikit yang memahami ritme kekuasaan seperti Dasco. Di Senayan, ia bukan sekadar penggerak fraksi. Ia adalah penjaga ritme politik, memastikan denyut kebijakan pemerintah berdetak seirama dengan napas parlemen.
Ketika Prabowo berkelana di jalur eksekutif, Dasco menjaga gerbang legislatif agar tetap ramah terhadap arah angin istana.

Namun, kekuasaan semacam ini selalu menyimpan paradoks. Di satu sisi, Dasco dipuji karena keahliannya mengelola tensi politik; di sisi lain, ia dikritik karena terlalu lentur terhadap garis eksekutif. Perannya yang strategis sering dibaca sebagai bentuk penyatuan kekuasaan — situasi di mana DPR kehilangan gigi kritisnya karena terlalu sibuk menjadi mitra pemerintah.

Dasco dikenal loyal — mungkin terlalu loyal. Ia tak hanya menjaga Gerindra, tetapi juga menjaga wajah Prabowo di parlemen.
Dalam banyak kasus, ketika konflik antarpartai memanas, Dasco tampil dengan nada tenang, membungkus kekakuan politik dengan diplomasi yang halus. Tapi di balik ketenangan itu, publik bertanya: apakah ia sedang menjembatani kepentingan rakyat atau sekadar merapikan barisan kekuasaan?

Loyalitas adalah mata uang langka dalam politik, namun di tangan yang salah, ia bisa berubah menjadi beban. Ketika parlemen terlalu loyal, kritik berubah jadi basa-basi; pengawasan jadi upacara. Jika itu yang terjadi, maka sosok seperti Dasco akan dikenang bukan sebagai penjaga sistem, melainkan penjaga istana.

Hubungan Dasco dengan partai lain, terutama PDIP, memperlihatkan kelihaiannya membaca arah angin. Ia bisa membawa pesan dari Prabowo kepada Megawati, bisa menenangkan kegaduhan, bisa mengubah ketegangan menjadi sinyal pertemanan politik.
Namun diplomasi semacam itu ibarat meniti tali di atas jurang. Sedikit salah ucap, bisa ditafsir sebagai manuver. Sedikit berjarak, bisa dianggap pengkhianatan.

Dalam sistem politik yang masih personalistik, di mana hubungan antar elite lebih menentukan daripada struktur formal, peran semacam itu penuh risiko. Dasco mungkin menguasai bahasa kompromi, tapi setiap kompromi mengandung jebakan — terutama ketika batas antara kenegaraan dan kepentingan partai menjadi kabur.

Kekuasaan Prabowo tengah memasuki babak baru, dan di setiap babak kekuasaan, selalu ada figur bayangan yang menjaga mesin tetap berputar. Dasco adalah salah satunya — bukan di garis depan, tapi di balik layar.
Ia tahu kapan bicara, kapan diam, dan kapan mengirim pesan politik tanpa meninggalkan tanda tangan.

Namun sejarah Indonesia jarang berpihak pada para penjaga di balik layar. Ketika badai politik datang, mereka yang bekerja dalam diam sering menjadi korban pertama. Loyalitas tidak selalu dibayar dengan perlindungan. Dan politik, sebagaimana kekuasaan, tidak mengenal rasa iba.

Yang kini dipertaruhkan bukan hanya karier politik Dasco, tetapi arah hubungan kekuasaan itu sendiri. Jika parlemen terus-menerus menjadi ruang konfirmasi bagi kebijakan pemerintah, maka demokrasi hanya tinggal formalitas.
Sufmi Dasco Ahmad, dengan seluruh pengaruh dan kedekatannya pada pusat kekuasaan, punya kesempatan langka: membuktikan bahwa loyalitas kepada Prabowo tak harus berarti kehilangan independensi.

Dalam politik yang dewasa, seorang loyalis sejati bukanlah mereka yang selalu berkata “ya”, tapi mereka yang berani mengingatkan ketika kekuasaan melampaui batasnya.
Pertanyaannya kini: apakah Dasco akan memilih menjadi penjaga sistem, atau tetap menjadi bayangan kekuasaan yang setia namun tanpa suara?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!