EDITORIAL

Manuver dan Diplomasi Politik Sufmi Dasco Ahmad

×

Manuver dan Diplomasi Politik Sufmi Dasco Ahmad

Sebarkan artikel ini
Gambar : Dasco Sufmi Ahmad latar belakang Istana Negara (Ist).

NUSATODAY.ID – Di tengah politik yang makin riuh oleh slogan dan seruan, ada sosok yang memilih berbicara dengan nada rendah. Bukan karena tak punya posisi, tapi karena tahu: dalam politik, suara pelan kadang justru lebih didengar. Sufmi Dasco Ahmad adalah salah satu dari sedikit politisi yang tampak paham bahwa kekuasaan tidak selalu direbut lewat teriakan, tapi juga bisa dimenangkan lewat percakapan.

Dalam beberapa momentum penting, terutama saat Gerindra bersitatap dengan PDI Perjuangan—dua poros besar yang sejak lama berjalan di rel ideologi yang berbeda—Dasco hadir sebagai penghubung. Ia bukan sekadar pembawa pesan dari Prabowo Subianto, tapi juga penerjemah maksud politik yang kerap keras di permukaan namun membutuhkan tafsir halus agar bisa diterima pihak lain.

Diplomasi semacam ini bukan perkara sederhana. Di tengah politik yang dikuasai figur-figur flamboyan dan dominan, Dasco tampil seperti pemain catur yang memilih langkah senyap. Ia menggerakkan pion, bukan dengan hentakan, melainkan dengan kalkulasi. Di ruang-ruang tertutup, ia menjadi jembatan: menenangkan yang curiga, menghubungkan yang renggang, dan menambal jurang komunikasi yang terlalu dalam untuk disebrangi tanpa mediator.

Gaya komunikasinya yang minim konfrontasi bukan sekadar pilihan taktis, melainkan strategi bertahan di lanskap politik yang sensitif. Ia tidak menabrak, tapi menyesuaikan arah angin. Tidak menuding, tapi mengulurkan tangan. Sifat ini membuatnya diterima di lintas partai, dari PDIP hingga Golkar, dari NasDem hingga PKB. Dalam politik Indonesia yang penuh rivalitas pribadi dan dendam lama, kemampuan seperti ini tergolong langka.

Namun, menjadi mediator di antara para raksasa politik adalah pekerjaan berisiko. Di partai yang dipimpin oleh Prabowo—yang terkenal lugas, keras, dan ideologis—Dasco harus berjalan di garis tipis antara loyalitas dan diplomasi. Ia tidak boleh kehilangan kepercayaan sang ketua umum, tapi juga tak bisa menutup diri dari kemungkinan dialog dengan pihak lain. Dalam politik yang bergerak cepat dan penuh tafsir, satu kalimat yang keliru bisa menjelma krisis.

Keberhasilan Dasco menjaga hubungan antarpartai tak lepas dari karakternya yang berhitung. Ia memahami bahwa politik bukan soal siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling bisa menahan diri. Ia tidak memaksakan gagasan dengan keras kepala, melainkan membiarkannya tumbuh lewat kompromi. Dan mungkin di situlah kekuatannya: ia mengubah negosiasi menjadi alat kelangsungan partai, bukan sekadar alat transaksi.

Namun diplomasi politik selalu punya sisi gelap: persepsi. Dalam iklim politik yang penuh sinisme, setiap upaya menjembatani mudah dituduh sebagai manuver atau pencitraan. Diplomasi bisa dibaca sebagai lobi kekuasaan; komunikasi bisa ditafsirkan sebagai kalkulasi pragmatis. Dasco paham betul risiko ini. Tapi ia tampak memilih untuk tetap berada di jalur yang sama—berbicara pelan, bekerja tenang, dan membiarkan hasil berbicara lebih keras.

Kehadirannya juga memperlihatkan sisi lain dari wajah Gerindra. Di balik figur Prabowo yang tegas dan ideologis, ada Dasco yang lentur dan diplomatis. Ia menjadi representasi bahwa partai ini tak hanya berdiri di atas retorika perjuangan, tapi juga di atas kemampuan membaca dinamika dan menyesuaikan diri dengan realitas politik yang berubah-ubah.

Meski begitu, ujian terbesarnya belum usai. Publik tidak menilai politisi dari seberapa sering ia tersenyum di forum lintas partai, melainkan dari hasil yang dihasilkan diplomasi itu. Kompromi tanpa arah jelas hanya akan melahirkan kekaburan moral. Negosiasi tanpa tujuan publik hanya akan memperpanjang umur kekuasaan, bukan memperbaiki tata kelola. Di sinilah Dasco diuji: apakah diplomasi yang ia bangun mampu menghasilkan makna politik yang lebih besar, bukan sekadar keakraban antar-elite?

Dalam sejarah politik Indonesia, kita mengenal banyak negosiator, tapi hanya sedikit yang meninggalkan jejak berkelanjutan. Diplomasi sejati tidak berhenti di meja perundingan, tapi berlanjut di kebijakan dan tindakan. Jika Sufmi Dasco Ahmad ingin dikenang bukan hanya sebagai “penjaga komunikasi Prabowo”, melainkan sebagai arsitek keseimbangan politik baru, maka ia harus melangkah lebih jauh: menjadikan diplomasi bukan sekadar gaya, tapi strategi untuk memperkuat demokrasi.

Sebab politik, pada akhirnya, bukan hanya soal siapa yang paling berani berbicara. Tapi siapa yang paling mampu membuat kata-kata bekerja untuk kepentingan yang lebih besar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!