EDITORIAL

Energi Bersih, Perut Bumi yang Kian Kotor

×

Energi Bersih, Perut Bumi yang Kian Kotor

Sebarkan artikel ini

NUSATODAY.ID – Dunia tengah memproklamirkan diri menuju masa depan hijau. Negara-negara bersorak di forum-forum internasional: “net zero”, “energi bersih”, “mobil listrik”, “turbin angin”. Namun, di balik jargon itu, kenyataan berbicara sebaliknya: bumi justru kian diperas, gunung digerogoti, laut tercemar. Demi energi hijau, manusia menggali lebih dalam ke perut bumi—lebih rakus dari sebelumnya.

Transisi energi global ternyata bukan tentang meninggalkan tambang, melainkan menggantikan jenisnya. Dari minyak dan gas, kini dunia memburu nikel, tembaga, litium, dan kobalt—semua mineral yang tak terbarukan. Ironinya, negara-negara yang paling lantang bicara soal ekonomi hijau justru paling rakus mengimpor hasil tambang dari Selatan. Indonesia, Afrika, dan Amerika Latin kini menjadi halaman belakang dari ekonomi hijau dunia: sumber bahan mentah untuk masa depan “bersih” yang dikotori di tempat lain.

Indonesia berdiri di jantung pusaran itu. Negeri ini menyimpan sekitar 55 juta ton cadangan nikel, atau 42,3% dari total dunia. Produksi nikel melonjak dari 1 juta ton pada 2021 menjadi lebih dari 2,2 juta ton pada 2024, menjadikan Indonesia penyumbang hampir 60% produksi global. Kapasitas olahan nikel nasional meningkat dari 30,47 juta ton/tahun (2023) menjadi 36,96 juta ton/tahun pada 2025, sementara investasi di subsektor minerba melonjak dari US$ 2,86 miliar (2023) menjadi US$ 15,92 miliar (2024).

Namun, di balik gemerlap angka itu, ada jejak luka. Di Raja Ampat, empat perusahaan tambang nikel dihentikan operasinya pada 2025 karena merusak kawasan pesisir dan geopark. Di Halmahera, air laut memerah, dan di Morowali, hutan industri semakin meluas. Pertanyaannya: untuk siapa semua ini? Untuk kemandirian bangsa, atau untuk rantai pasok global yang semakin rakus?

Lonjakan serupa juga terjadi pada litium, kobalt, dan tembaga—tiga mineral kunci transisi energi. Dalam lima tahun terakhir, produksi litium dunia naik lebih dari dua kali lipat, dari sekitar 90-120 ribu ton pada 2019-2020 menjadi 240 ribu ton pada 2024. Permintaannya diperkirakan tumbuh lima kali lipat hingga 2040, didorong oleh ledakan kendaraan listrik dan penyimpanan energi. Harga litium sempat melesat pada 2022, lalu anjlok lebih dari 80% setelah 2023 akibat oversupply—sebuah pola klasik kapitalisme tambang: menggila, lalu jatuh.

Di sisi lain, produksi kobalt global mencapai 230 ribu ton pada 2023, didominasi oleh Republik Demokratik Kongo yang menyumbang lebih dari 70% pasokan dunia. Indonesia kini menyalip ke posisi kedua, namun dengan risiko sosial yang sama: eksploitasi pekerja, degradasi lingkungan, dan ketergantungan pada pasar global yang tak stabil. Permintaan kobalt memang masih naik, tetapi mulai ditekan oleh teknologi baterai baru jenis LFP (lithium iron phosphate) yang tak lagi menggunakan kobalt—ironisnya, setelah miliaran dolar ditanam untuk menambangnya.

Sementara itu, tembaga—logam yang menopang kabel listrik dan infrastruktur energi terbarukan—menghadapi ancaman kelangkaan. Produksi global stagnan dalam lima tahun terakhir, dan menurut laporan ICSG, dunia berpotensi defisit tembaga mulai 2026 jika tak ada ekspansi tambang baru. Transisi energi yang menjanjikan keberlanjutan justru berhadapan dengan tembok pasokan bahan mentah.

Kebutuhan minerba dunia menjadi dalih baru untuk menambang tanpa rem. Pemerintah berbangga dengan hilirisasi, namun di banyak daerah tambang, “nilai tambah” justru berarti udara kotor, air asam, dan tanah retak. Nilai yang menguap keluar negeri seringkali jauh lebih besar daripada yang tersisa di dalam. Tahun ini, bahkan izin produksi minerba hanya berlaku satu tahun, bukan tiga, agar pemerintah bisa lebih cepat mengatur kuota dan dampaknya. Tapi pengawasan seringkali hanya berhenti di atas kertas.

Transisi energi seharusnya menjadi momentum memperbaiki cara kita memperlakukan bumi, bukan mengganti satu bentuk kerakusan dengan yang lain. Dunia memang membutuhkan minerba, tetapi kebutuhan itu tak bisa dijadikan alasan untuk melanjutkan pola eksploitasi yang sama. Tanpa tata kelola yang adil, transparan, dan berpihak pada lingkungan, “energi hijau” hanya akan menjadi topeng baru bagi kerakusan lama.

Jika manusia terus menambang tanpa jeda, dunia mungkin akan berhasil menyalakan masa depan—tapi di atas reruntuhan bumi yang sudah kehabisan napas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!