Nusatoday.id – Pemberian gelar Pahlawan Nasional adalah kehormatan tertinggi yang diberikan oleh negara Indonesia kepada individu yang dinilai memiliki jasa luar biasa bagi bangsa dan negara. Namun, gelar tersebut juga membawa tanggung jawab moral dan historis — hanya dapat dianugerahkan kepada tokoh yang benar-benar mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, integritas, dan demokrasi.
Dalam konteks ini, usulan untuk menjadikan Presiden Soeharto (1967–1998) sebagai Pahlawan Nasional telah menimbulkan perdebatan luas di Indonesia dan komunitas internasional. Meskipun diakui bahwa masa pemerintahannya membawa stabilitas politik dan pembangunan ekonomi, banyak bukti dan kesaksian menunjukkan bahwa keberhasilan tersebut dibangun di atas pelanggaran hak asasi manusia, penindasan politik, dan korupsi sistemik.
Laporan dari Komnas HAM, Human Rights Watch, Amnesty International, serta dokumen yang dideklasifikasi dari arsip pemerintah Amerika Serikat dan Inggris menegaskan adanya berbagai tindakan represif dan penyalahgunaan kekuasaan selama rezim Orde Baru. Dalam demokrasi yang sehat, penilaian terhadap figur sejarah harus didasarkan pada kebenaran historis dan pertanggungjawaban moral, bukan nostalgia atau romantisasi masa lalu.
Oleh karena itu, berikut ini adalah 70 alasan mendasar mengapa banyak kalangan menilai Soeharto tidak layak dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, disusun berdasarkan data, laporan resmi, dan analisis akademik baik dari sumber dalam negeri maupun internasional
A. Pelanggaran HAM besar-besaran dan kekerasan (sejarah dan tanggung jawab)
-
Peran rezim dalam pembantaian anti-PKI 1965–66 yang menewaskan ratusan ribu orang; ini adalah noda besar dalam rekam HAM nasional. Human Rights Watch+1
-
Kurangnya proses akuntabilitas terhadap para pelaku pembantaian 1965–66. nsarchive.gwu.edu
-
Pendudukan dan operasi militer di Timor Timur (East Timor) dengan banyak pelanggaran serius terhadap penduduk sipil. Human Rights Watch+1
-
Kegagalan membawa ke pengadilan pelaku kekerasan di Timor Timur setelah berakhirnya pendudukan. Parlemen Australia
-
Penembakan dan kekerasan terhadap demonstran pro-reformasi pada 1998 (Trisakti, kerusuhan Mei) yang menewaskan dan melukai banyak orang. Komnas HAM
-
Kasus-kasus penculikan/dalang hilangnya aktivis pro-demokrasi (1997–1998) yang belum terselesaikan. indoleft.org
-
Praktik penyiksaan oleh aparat keamanan pada masa rezim. humanrights.asia
-
Kekerasan terorganisir terhadap kelompok sipil sebagai bagian dari kebijakan keamanan. Human Rights Watch
B. Korupsi, nepotisme, dan pengayaan keluarga/krunya
-
Bukti kuat praktik korupsi sistemik dan kronisme yang menguntungkan keluarga dan kroni (Cendana network). Transparency.org+1
-
Investigasi internasional menemukan transfer besar-besaran aset keluarga kekuasaan ke rekening luar negeri. TIME
-
Penggunaan kekuasaan negara untuk keuntungan bisnis pribadi dan kelompok terafiliasi. aior
-
Ketiadaan transparansi dalam aset negara dan konflik kepentingan pejabat puncak. Transparency.org
-
Faktor korupsi yang melemahkan layanan publik (kesehatan, pendidikan, infrastruktur) bagi warga biasa. aior
-
Skandal perbankan dan aliran dana (contoh: investigasi media internasional terhadap transfer aset). TIME
C. Rezim otoriter: represi politik dan pembungkaman suara
-
Sistem politik yang menghilangkan checks and balances (konsolidasi kekuasaan eksekutif-militer). Human Rights Watch
-
Pembungkaman media independen: sensor, intimidasi, pembatasan kebebasan pers. Human Rights Watch
-
Pembatasan kebebasan akademik dan penganiayaan terhadap intelektual yang kritis. Human Rights Watch
-
Penggunaan instrumen negara (hukum, militer) untuk menyingkirkan lawan politik. Human Rights Watch
-
Pemilu dan mekanisme politik yang dikontrol atau dimanipulasi demi mempertahankan kekuasaan.
-
Sistem politik yang menormalisasi dominasi militer atas sipil. Human Rights Watch
D. Impunitas dan kegagalan penegakan hukum
-
Hampir tidak ada penuntutan kredibel terhadap pelanggaran HAM besar semasa rezim. nsarchive.gwu.edu+1
-
Struktur kelembagaan yang sengaja dirancang untuk melindungi elite dari pertanggungjawaban.
-
Pengadilan seringkali tidak independen ketika menyangkut kasus yang melibatkan kekuasaan.
-
Upaya reformasi pasca-1998 sering terhambat karena warisan impunitas. ICTJ
E. Kerusakan ekonomi jangka panjang & krisis 1997–1998
-
Kebijakan ekonomi yang selama bertahun-tahun menguntungkan konglomerat kroni, menciptakan ketimpangan. aior
-
Fragilitas sistem keuangan akibat nepotisme dan konflik kepentingan (kontribusi terhadap krisis). TIME
-
Krisis moneter 1997–1998 yang memicu penderitaan luas (pengangguran, kemiskinan, PHK massal).
-
Penanganan krisis yang memperlihatkan lemahnya tata kelola dan akuntabilitas ekonomi. Human Rights Watch
F. Diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas
-
Kekerasan terorganisir dan diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa-Indonesia pada beberapa periode. Human Rights Watch
-
Kebijakan yang menempatkan kelompok minoritas di posisi rentan terhadap pelanggaran hak atas properti dan keselamatan.
-
Kurangnya perlindungan dan pemulihan bagi korban-korban etnis/keagamaan.
G. Pelanggaran di daerah konflik (Aceh, Papua, dsb.)
-
Operasi militer di Aceh dan Papua yang melibatkan pelanggaran HAM. Human Rights Watch+1
-
Penindasan terhadap aspirasi politik dan budaya masyarakat adat di daerah-daerah tertentu.
-
Pemindahan paksa, perampasan tanah, dan pelanggaran hak ekonomi sosial budaya lokal.
H. Penghapusan ruang sipil dan lembaga demokrasi
-
Pembatasan organisasi masyarakat sipil yang independen. Human Rights Watch
-
Legalisme yang digunakan untuk melegitimasi tindakan represi (hukum darurat, instruksi militer).
-
Pendidikan kewarganegaraan yang dimanipulasi untuk menormalisasi narasi rezim.
-
Upaya sistematis membatasi pluralitas politik dan kebebasan berekspresi. Human Rights Watch
I. Pembungkaman korban dan warisan trauma
-
Penghormatan negara terhadap Soeharto tanpa rekonsiliasi menyakiti korban dan keluarga korban. Reuters
-
Mengangkatnya menjadi pahlawan nasional dianggap memutihkan atau mengabaikan penderitaan sejarah. The Guardian
-
Risiko retraumatisasi korban bila negara merayakan figur yang terkait pelanggaran massal.
-
Membuat standar ganda dalam penghormatan terhadap jasa vs. dosa.
J. Manipulasi sejarah & revisi narasi publik
-
Upaya merubah buku sejarah atau narasi publik untuk membela tindakan rezim menimbulkan historical amnesia. The Guardian
-
Penghapusan atau pengurangan porsi peristiwa pelanggaran pada kurikulum nasional. The Guardian
-
Glorifikasi figur otoriter menghalangi pembelajaran kritis sejarah.
K. Dampak internasional dan reputasi negara
-
Penghormatan negara terhadap figur yang terkait pelanggaran HAM besar dapat merusak reputasi internasional. Human Rights Watch+1
-
Kecaman kelompok HAM internasional dan mitra luar negeri berpotensi meningkat jika langkah tersebut dijalankan. Human Rights Watch+1
L. Contoh kontroversi publik dan penolakan
-
Aktivis, korban, dan organisasi HAM (domestik & internasional) menolak gelar pahlawan untuk Soeharto. Reuters+1
-
Demonstrasi dan surat terbuka dari kelompok masyarakat sipil menunjukkan penolakan luas. Reuters
-
Media internasional menyorot kontroversi dan risiko whitewashing sejarah. The Australian+1
M. Prinsip moral dan etika kenegaraan
-
Pahlawan nasional seharusnya merepresentasikan nilai-nilai demokrasi, HAM, dan keadilan — pertimbangan ini dipertanyakan pada kasus Soeharto.
-
Memberi gelar pahlawan tanpa proses rekonsiliasi menyalahi prinsip keadilan restoratif.
-
Negara harus memberi contoh rekonsiliasi, bukan merayakan figur kontroversial.
N. Dampak hukum, administratif, dan simbolik
-
Gelar pahlawan membawa simbolisme dan legitimasi institusional yang dapat mempengaruhi kebijakan publik dan pendidikan sejarah.
-
Legitimasi semacam itu bisa menghalangi proses investigasi lanjutan atau pembentukan mekanisme kebenaran. ICTJ
O. Risiko politik kontemporer
-
Penghormatan resmi terhadap figur otoriter dapat memicu polarisi politik baru dan menyuburkan nostalgia otoriter. Reuters+1
-
Bisa jadi pemicu legitimasi politisi yang mendukung kembali praktik lama (militerisme, kronisme). The Australian
P. Kegagalan reformasi dan ketidaklengkapan transisi
-
Pemberian gelar tanpa menyelesaikan agenda penegakan HAM menunjukkan reformasi yang belum selesai. ICTJ
-
Menormalkan figur masa lalu menghambat pembentukan budaya akuntabilitas di birokrasi.
-
Meninggalkan masalah warisan (dokumen, arsip, bukti) tanpa penanganan yang layak.
Q. Pengaruh negatif terhadap korban yang masih hidup dan keluarga
-
Korban yang menuntut keadilan akan merasa dilecehkan bila negara merayakan pelaku atau dalang rezim. The Guardian
-
Pengabaian atas klaim kompensasi, rehabilitasi, dan pengakuan terhadap korban.
R. Pertimbangan praktis tentang gelar pahlawan
-
Pemberian gelar harus melalui proses verifikasi jasa dan dampak terhadap bangsa — kontroversi besar membuat verifikasi ini problematik.
-
Gelar pahlawan meniadakan kesempatan untuk pengajaran sejarah yang menyeluruh dan kritis.
-
Mengabaikan suara korban dan bukti lapangan akan merusak legitimasi institusi yang memberi gelar. Reuters
S. Alasan tambahan bernuansa etis/strategis
-
Menghormati korban seharusnya prioritas sebelum menghormati figur yang menimbulkan luka kolektif.
-
Negara yang dewasa harus mengedepankan rekonsiliasi dan kebenaran historis, bukan penghormatan sepihak.
-
Pahlawan nasional idealnya menyatukan bangsa — pemberian gelar yang memecah belah berlawanan dengan tujuan itu.
-
Menetapkan standar bagi figur publik masa depan: jangan jadikan impunitas dan kekerasan sebagai tolok ukur jasa.
-
Untuk membangun memori kolektif yang sehat, perlu penghormatan kepada korban, keterbukaan dokumen, dan mekanisme kebenaran terlebih dahulu — baru pertimbangan kehormatan negara. ICTJ+1











