Nusatoday.id – Ledakan di Masjid SMA 72 Jakarta pada Jumat (7/11) yang melukai puluhan orang ternyata lebih dari sekadar tindak kriminal. Lembaga riset dan advokasi hak asasi manusia, SETARA Institute, menilai peristiwa ini mengindikasikan munculnya ekstremisme berbasis kekerasan, terutama di kalangan remaja.
Dalam siaran pers yang dirilis Minggu (9/11), SETARA menyebut tragedi di SMA 72 menjadi peringatan keras bagi pemerintah dan masyarakat untuk memperkuat langkah preventif menghadapi ideologi kekerasan.
“Selama tiga tahun terakhir, Indonesia mencatat nol serangan terorisme. Namun, peristiwa di SMA 72 Jakarta ini menjadi alarm bahwa kewaspadaan tidak boleh menurun,” tulis SETARA.
Menurut SETARA, kasus ini menunjukkan tingginya potensi keterpaparan ekstremisme pada usia muda. Beberapa simbol yang ditemukan, termasuk senapan mainan bertuliskan “Welcome to Hell”, mengingatkan pada aksi teror internasional yang dilakukan Brenton Tarrant di Selandia Baru dan Alexandre Bissonnette di Kanada.
“Peristiwa ini bukan tindak kriminal biasa, melainkan mengandung indikasi kuat ideologi kekerasan,” tegas SETARA.
Lembaga ini menyerukan semua pihak — mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, hingga masyarakat sipil — untuk bersinergi mencegah penyebaran ideologi kekerasan. SETARA menekankan bahwa derasnya arus informasi dan teknologi digital membuat remaja semakin mudah terpapar konten ekstrem.
“Peningkatan literasi kebangsaan, toleransi, dan penghormatan terhadap perbedaan harus dilakukan secara massif agar remaja tidak mudah terpapar ideologi ekstrem,” kata SETARA.
Hasil survei SETARA 2023 menunjukkan tren mengkhawatirkan: 24,2% remaja tergolong intoleran pasif, 5% intoleran aktif, dan 0,6% sudah terpapar ekstremisme. Meski tingkat toleransi masih tinggi (70,2%), angka intoleransi aktif meningkat dua kali lipat dibanding 2016.
SETARA menilai program pencegahan ekstremisme kekerasan di era Presiden Prabowo Subianto belum efektif, dan perhatian terhadap pencegahan menurun karena tidak ada serangan teroris dalam tiga tahun terakhir.
“Kejadian di SMA 72 Jakarta menjadi peringatan keras bahwa pencegahan ekstremisme harus tetap menjadi program prioritas nasional,” tulis SETARA.
Lembaga ini mendesak pemerintah mengoptimalkan Rencana Aksi Nasional (RAN-PE) dan Rencana Aksi Daerah (RAD-PE) agar koordinasi lintas lembaga berjalan efektif. Kolaborasi antara tiga pilar kepemimpinan — politik, birokrasi, dan masyarakat — juga dianggap penting untuk memperkuat ekosistem toleransi.
Kasus ini menjadi lebih kompleks karena pelaku berusia 17 tahun dan disebut sering menjadi korban perundungan di sekolah. SETARA menegaskan, praktik bullying bisa memicu perilaku ekstrem, sehingga Kementerian Pendidikan perlu memberi perhatian serius.
“Perundungan tidak hanya menyakiti korban, tetapi juga bisa menjerumuskan mereka pada anomali sosial dan ekstremisme kekerasan,” tutup SETARA.











