Penulis: Abdullah Kelrey – Founder Nusa Ina Connection (NIC)
Nusatoday.id – Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang ditandatangani Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dan diundangkan awal Desember 2025 membuka ruang bagi penugasan anggota Polri aktif di 17 kementerian dan lembaga negara – kebijakan yang diumumkan dan dijelaskan oleh humas Polri hanya beberapa hari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang membatasi kemungkinan polisi aktif memangku jabatan sipil tanpa mengundurkan diri atau pensiun. Momen yang berdekatan itu – peraturan internal Polri yang memberi peluang rangkap tugas untuk personel aktif sementara putusan MK berupaya menegaskan batas konstitusional menimbulkan pertanyaan serius tentang prioritas pimpinan Polri: memanfaatkan celah regulasi untuk memperluas peran di luar tugas pokok, atau menerima putusan pengadilan konstitusional dan fokus memperbaiki kinerja internal.
Di sisi lain, publik dan akademisi hukum tidak salah bila memprotes langkah ini: putusan MK dimaksud menggarisbawahi prinsip bahwa jabatan sipil yang strategis seharusnya tidak menjadi jalan pintas bagi anggota aktif untuk merangkap tanpa proses pengunduran diri/pensiun yang jelas. Kritik yang mengalir dari pengamat hukum nasional menunjukkan kekhawatiran tentang akuntabilitas dan pemisahan sipil-militer/polisi prinsip yang menjadi salah satu fondasi reformasi birokrasi demi tata pemerintahan yang transparan. Kebangkitan aturan internal yang nampak “mengulang” praktik lama memberi kesan upaya menjaga pengaruh lembaga ketimbang memperbaiki mutu pelayanan publik.
Argumen bahwa Kapolri harus mengalihkan energi ke perbaikan kesejahteraan anggota mendapat dukungan kuat dari fakta-fakta kesejahteraan dan kondisi lapangan dalam 5 tahun terakhir. Regulasi gaji dan tunjangan untuk anggota Polri pada 2024–2025 masih merujuk pada peraturan pemerintah dan tabel skala gaji resmi, namun kenyataannya pendapatan riil anggota—termasuk ketergantungan pada tunjangan tugas dan lokasi masih membuat banyak personel mencari penghasilan tambahan; laporan dan ringkasan tabel gaji resmi (DJPb/PP) serta publikasi media massa memperlihatkan rentang gaji pokok yang relatif rendah untuk pangkat bawah pada tahun-tahun terakhir sehingga total pendapatan sering bergantung pada tunjangan nonpokok. Melihat fakta ini, wajar bila ada klaim bahwa beban, stres, dan peluang penyimpangan akan meningkat bila perhatian pimpinan terseret ke soal penempatan sipil ketimbang perbaikan kesejahteraan, pelatihan profesional, dan mekanisme pengawasan internal yang kuat.
Selain masalah gaji, indikator integritas institusi penegakan hukum juga menjadi alarm. Dalam lima tahun terakhir Indonesia mengalami fluktuasi buruk pada Indeks Persepsi Korupsi (CPI): pada rentang 2020–2024 skor Indonesia bergerak dari sekitar 37 (2020) → 38 (2021) → 34 (2022) → 34 (2023) → 37 (2024) – tren yang menunjukkan tantangan berkelanjutan pada kualitas tata kelola publik dan persepsi terhadap korupsi. Di level praktik penegakan hukum, pemantauan organisasi hak asasi dan pengawas sipil juga melaporkan angka kejadian kekerasan dan pelanggaran yang tinggi melibatkan anggota Polri – misalnya pemantauan KontraS mencatat ratusan peristiwa kekerasan dalam periode pemantauan tahunan terkininya (645 peristiwa pada Juli 2023 – Juni 2024; 602 peristiwa pada Juli 2024 – Juni 2025 menurut laporan mereka) yang melibatkan korban luka dan meninggal. Data-data ini menunjukkan adanya masalah tegas pada kontrol internal, akuntabilitas, dan budaya organisasi yang belum tuntas dibenahi dalam lima tahun terakhir. Dalam konteks itu, memperluas peran personel aktif ke struktur sipil tampak bertentangan dengan agenda reformasi yang menuntut konsolidasi profesionalisme dan akuntabilitas internal terlebih dahulu.
Kapolri seyogianya menampilkan prioritas yang jelas memperjuangkan kesejahteraan wajar anggota, memperbaiki manajemen sumber daya manusia, memperkuat pengawasan internal, dan menuntaskan agenda reformasi yang berkaitan langsung dengan tugas pokok Polri-sebelum mendorong ekspansi penempatan anggota aktif ke ranah sipil yang strategis. Reformasi sejati bukan soal memperluas kuasa institusi ke banyak tempat, melainkan soal memperbaiki fungsi inti sehingga kepercayaan publik tumbuh. Jika pimpinan institusi memilih jalan lain, maka kritik publik bukan semata retorika; itu adalah panggilan konstitusional dan moral agar Polri kembali pada tugas pelayanan, perlindungan, dan penegakan hukum yang profesional satu pekerjaan besar yang nyata dampaknya bagi keselamatan publik dan legitimasi negara.
(Continued).















