NUSATODAY.ID – Wacana Presiden Prabowo Subianto menggunakan kewenangan amnesti dan abolisi kembali mencuri perhatian publik. Isu ini mengemuka dalam Seminar Konstitusi MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, akhir pekan lalu (23–27/8/2025). Tiga tokoh penting, yakni Wakil Ketua MPR Bambang Wuryanto (Bambang Pacul), Hakim Konstitusi Saldi Isra, dan Ketua MK pertama Prof. Jimly Asshiddiqie, menyampaikan pandangan berbeda soal langkah strategis kepala negara tersebut.
Bambang Pacul menilai Prabowo memiliki “semangat Korea” dalam memandang kebijakan amnesti dan abolisi. Menurutnya, istilah itu menggambarkan keberanian, disiplin, serta cara berpikir visioner yang tidak terjebak kerumitan prosedur hukum.
“Prabowo ini punya semangat Korea, bukan sekadar membaca teori hukum, tetapi berani mengeksekusi solusi cepat,” ujarnya.
Pacul bahkan menyebut langkah presiden bisa menjadi terobosan untuk menyelesaikan konflik hukum besar yang berlarut-larut.
Namun, peringatan datang dari Hakim Konstitusi Saldi Isra. Ia menegaskan kewenangan presiden dalam memberi amnesti dan abolisi tidak boleh dipakai sepihak, melainkan harus melibatkan DPR sesuai konstitusi.
“Kalau hanya dijadikan jalan pintas mengatasi kebuntuan hukum, legitimasi pemerintah bisa dipertanyakan. Bahkan publik bisa menilai presiden intervensi hukum,” tegas Saldi.
Ia meminta pemerintahan Prabowo-Gibran berhati-hati agar demokrasi tidak terganggu.
Senada, Prof. Jimly Asshiddiqie mengingatkan agar kewenangan luar biasa itu tidak berubah menjadi instrumen politik praktis. Ia menekankan, penggunaan amnesti dan abolisi memang diakui UUD 1945, tetapi harus dijalankan penuh tanggung jawab.
“Kalau dipakai untuk kepentingan politik jangka pendek, sistem hukum bisa rusak dan kredibilitas peradilan ikut tergerus,” kata Jimly.
Ia mendorong adanya checks and balances ketat melalui DPR dan pengawasan publik.
Dengan demikian, wacana Prabowo soal amnesti-abolisi berada di persimpangan antara terobosan visioner dan potensi kontroversi konstitusional. Dukungan hadir dari kubu politik yang melihatnya sebagai solusi cepat, sementara kritik datang dari kalangan hukum yang mengingatkan bahaya penyalahgunaan kewenangan. Publik kini menunggu bagaimana Prabowo-Gibran mengeksekusi kebijakan ini: apakah benar jadi solusi bangsa atau justru memicu perdebatan baru dalam demokrasi Indonesia.