NUSATODAY.ID – Ratusan mahasiswa dari Perantara (Pusat Perhimpunan Aktivis Nusantara) kembali turun ke jalan, menggelar aksi di depan Gedung Kejaksaan Agung RI. Jakarta. Rabu, (10/09/2025).
Mereka mendesak aparat hukum segera mengusut Kepala UBPN Antam Konawe Utara (Konut) terkait dugaan manipulasi data produksi tambang nikel serta indikasi penyalahgunaan dana Corporate Social Responsibility (CSR).
Aksi ini bukan sekadar teriakan kosong. Massa membawa sederet temuan lapangan yang memperlihatkan adanya kejanggalan serius di tubuh PT Antam UBPN Konut.
Salah satu temuan yang diungkap mahasiswa adalah hilangnya laporan produksi tambang Blok Tapunopaka dari dokumen resmi PT Antam selama empat tahun terakhir. Padahal, aktivitas penambangan di blok itu tetap berjalan.
“Produksi Tapunopaka diduga dialihkan menggunakan dokumen IUP Pomalaa. Praktik dokumen terbang ini jelas membuat negara kehilangan PNBP miliaran rupiah, sementara Konawe Utara tak kebagian Dana Bagi Hasil,” tegas Eghy, Jendlap Perantara.
Jika dugaan ini benar, pola manipulasi tersebut bisa masuk kategori fraud sistematis: menutupi produksi sebenarnya, mengalihkan pencatatan, lalu menggerus penerimaan negara dan daerah.
Selain persoalan produksi, mahasiswa juga menyoroti pengelolaan dana CSR yang dinilai tidak transparan. CSR yang seharusnya menjadi kewajiban untuk membangun masyarakat sekitar tambang, justru dianggap jadi “ladang gelap” yang rawan disalahgunakan.
“CSR itu bukan sedekah. Kalau dikelola diam-diam, besar kemungkinan bocor di jalan. Rakyat hanya dapat polusi dan kerusakan, bukan manfaat ekonomi,” kata Eghy.
Dalam praktiknya, program CSR Antam Konut disebut sering tidak menyentuh kebutuhan masyarakat secara nyata. Bahkan, mahasiswa menilai ada indikasi dana CSR digunakan sekadar formalitas tanpa akuntabilitas yang jelas.
Mahasiswa mendesak Kejagung memanggil dan memeriksa Kepala UBPN Antam Konut. Mereka menegaskan masyarakat berhak tahu ke mana hasil tambang daerahnya mengalir.
“Jangan biarkan SDA kita dijarah, rakyat tetap miskin, sementara pejabat dan korporasi kaya raya. Kalau Kepala UBPN tidak bisa buktikan transparansi, Kejagung harus copot jabatannya,” seru massa.
Perantara memastikan perjuangan ini akan berlanjut. Mereka berencana membawa kasus ini ke DPR RI dan Kementerian ESDM agar ada tekanan politik sekaligus hukum.
Bagi mahasiswa, transparansi pengelolaan sumber daya alam adalah harga mati. Tanpa itu, daerah tambang hanya jadi “ladang eksploitasi” yang menguntungkan segelintir pihak, sementara masyarakat lokal tetap tertinggal.