Penulis : Abdullah Kelrey – Founder Nusa Ina Connection (NIC).
NUSATODAY,ID – Mengapa Anarkisme Muncul di Masyarakat – Di tengah arus modernisasi yang serba cepat, gesekan sosial sering kali tak terhindarkan. Perbedaan pandangan politik, ekonomi, hingga gaya hidup dapat memicu ketegangan. Bila dibiarkan tanpa solusi, kondisi ini berpotensi melahirkan tindakan anarkis yang merugikan semua pihak. Padahal, sejak awal Indonesia berdiri di atas fondasi keberagaman dan semangat persatuan.
Anarkisme umumnya lahir dari rasa kecewa terhadap sistem, ketidakadilan, atau ketiadaan ruang aspirasi. Ketika suara rakyat tidak terwadahi, emosi mudah meluap menjadi tindakan destruktif. Namun, kekerasan tidak pernah menjadi solusi. Sebaliknya, ia memperpanjang masalah dan merusak sendi kebersamaan yang telah dibangun.
Ajaran Islam tentang Perdamaian dan Persatuan : Dalam ajaran Islam, anarkisme jelas dilarang. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, setelah (Allah) memperbaikinya…” (QS. Al-A’raf: 56).
Ayat ini menegaskan larangan merusak tatanan sosial, baik dengan kekerasan, perusakan fasilitas, maupun tindakan anarkis lainnya. Islam justru mendorong umatnya untuk menjadi agen perdamaian.
Nabi Muhammad SAW juga bersabda:
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya disakiti.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan pentingnya ukhuwah (persaudaraan) dan larangan untuk saling menyakiti. Prinsip inilah yang menjadi landasan persatuan dalam Islam.
Negara dan UU Melarang Anarkisme : Secara hukum, tindakan anarkis jelas dilarang oleh negara. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 menegaskan bahwa kebebasan menyampaikan pendapat dijamin, namun tetap harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Sementara itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memberikan sanksi bagi perusakan fasilitas umum, tindak kekerasan, dan pelanggaran hukum lainnya.
Aturan tersebut menegaskan bahwa negara menginginkan aspirasi rakyat disalurkan secara damai, bukan dengan kekerasan. Hukum hadir untuk menjaga ketertiban dan memastikan kebebasan tidak berubah menjadi kekacauan.
Pesan Tokoh Bangsa tentang Persatuan : Bung Karno pernah berkata:
“Bangsa ini harus dipersatukan, jangan dibiarkan tercerai-berai. Persatuan Indonesia adalah harga mati.”
Pesan ini menegaskan bahwa persatuan adalah kunci keberlangsungan bangsa. Tanpa persatuan, Indonesia akan mudah terpecah dan melemah.
KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, juga menegaskan:
“Mencintai tanah air adalah sebagian dari iman (hubbul wathan minal iman).”
Ungkapan ini mengajarkan bahwa menjaga persatuan dan menghindari kerusakan di masyarakat bukan hanya kewajiban kebangsaan, tapi juga bagian dari ibadah.
Peran Pemerintah dan Masyarakat Sipil : Negara dan aparat memiliki peran vital dalam mencegah anarkisme. Tidak hanya lewat penegakan aturan, tetapi juga dengan memberi teladan. Transparansi, keadilan, serta keberpihakan pada rakyat kecil akan membangun kepercayaan publik. Saat kepercayaan itu hadir, ruang bagi anarkisme semakin menyempit.
Selain pemerintah, masyarakat sipil juga punya peran penting. Akademisi, tokoh agama, komunitas lokal, hingga media massa dapat menjadi jembatan perdamaian. Narasi damai harus diperkuat, terutama di ranah digital.
Literasi Digital sebagai Benteng Perdamaian : Di era media sosial, hoaks dan ujaran kebencian kerap menjadi pemicu konflik. Literasi digital sangat diperlukan agar masyarakat tidak mudah terprovokasi. Edukasi sejak dini tentang pentingnya menyaring informasi akan memperkuat ketahanan sosial.
Merajut Persatuan untuk Masa Depan Indonesia : Mencegah anarkisme bukan hanya tugas aparat, melainkan tanggung jawab kita semua. Islam mengajarkan pentingnya perdamaian, negara melalui UUD 1945 serta KUHP melarang tindakan anarkis, dan para tokoh bangsa menekankan bahwa persatuan adalah harga mati.
Merajut persatuan berarti merawat kebhinekaan sekaligus memastikan masa depan Indonesia tetap damai. Dengan bersatu, bangsa ini akan lebih kuat menghadapi tantangan global tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi toleransi, persaudaraan, dan kedamaian.