NUSATODAY.ID – Kasus dugaan korupsi yang melibatkan aliran dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali menjadi perhatian publik. Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kementerian Agama (Kemenag) disebut ikut terlibat dalam pengelolaan dana tersebut. Namun hingga kini, ASN tersebut sama sekali belum tersentuh pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Direktur ETOS Indonesia Institute, Iskandarsyah, menilai bahwa langkah KPK yang belum menyentuh kasus ini menimbulkan pertanyaan besar. Ia menegaskan bahwa hukum tidak boleh tebang pilih, terlebih jika menyangkut dana publik. “Kalau memang ada ASN yang terlibat, seharusnya KPK bergerak cepat. Jangan ada kesan tebang pilih, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu,” ujarnya, Senin (22/09/2025).
ASN yang dimaksud juga dikaitkan dengan tindak pidana pencucian uang. Dana hasil dugaan korupsi itu disebut dialirkan untuk operasional Universitas Bunga Bangsa Cirebon yang dipimpin Oman Fathurohman. Meski isu ini ramai diperbincangkan, hingga kini KPK belum melakukan pemeriksaan secara terbuka.
Menurut Iskandarsyah, apabila dana tersebut benar digunakan untuk kepentingan kampus, maka hal itu telah masuk kategori tindak pidana pencucian uang sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. “KPK wajib menelusuri aliran uangnya. Publik ingin melihat tidak ada pihak yang kebal hukum,” tegasnya.
Nama Oman Fathurohman juga menjadi sorotan karena disebut-sebut aman dari jeratan hukum berkat perlindungan adiknya yang pernah menjabat sebagai Inspektorat di Kemenag. Hingga kini, Oman masih berstatus ASN di Kemenag Kabupaten Cirebon dan dituding memiliki peran penting dalam menampung dana hasil dugaan korupsi.
Iskandarsyah menilai kondisi ini berpotensi kuat sebagai bentuk penyalahgunaan jabatan dan konflik kepentingan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN secara tegas mengatur bahwa setiap aparatur wajib menjaga integritas dan bebas dari praktik korupsi, kolusi, serta nepotisme. Bahkan, dalam Pasal 87 ayat (4) huruf b disebutkan bahwa ASN yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi akan diberhentikan tidak dengan hormat.
Selain dugaan keterlibatan dalam aliran dana CSR, publik juga menyoroti kepemilikan sejumlah usaha oleh ASN terkait, mulai dari hotel, apotek, rumah kost hingga restoran.
Menurut Iskandarsyah, seorang ASN memang boleh memiliki usaha pribadi, tetapi ada batasan ketat. Usaha tersebut tidak boleh mengganggu tugas pokok, tidak menggunakan fasilitas negara, dan yang terpenting modalnya tidak boleh berasal dari dana hasil kejahatan. Jika terbukti menggunakan dana korupsi, usaha tersebut bisa dijerat dengan ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Iskandarsyah juga mengingatkan bahwa jika dugaan ini terbukti, ASN yang terlibat dapat dijerat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 jo. Nomor 20 Tahun 2001, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 yang mengatur larangan memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum hingga merugikan keuangan negara. Pasal tersebut juga mengancam hukuman penjara minimal 4 tahun hingga seumur hidup bagi pelaku penyalahgunaan kewenangan.
Kasus ini, menurut Iskandarsyah, menjadi ujian serius bagi KPK untuk menunjukkan keberanian dan ketegasannya. “Kalau KPK berani mengusut, marwah lembaga ini akan tetap terjaga. Tapi kalau tidak, publik akan menganggap ada aktor tertentu yang kebal hukum. Itu berbahaya bagi penegakan hukum di Indonesia,” pungkasnya.











