Nusatoday.id — Kritik terhadap Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang ditegaskan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai langkah implementasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terus menguat. Abdullah Kelrey, Founder Nusa Ina Connection (NIC) sekaligus Komite Nasional Gerakan Pemerhati Kepolisian Republik Indonesia (GPK RI), menilai Perpol tersebut justru berpotensi melemahkan kewenangan MK secara struktural dan mencederai prinsip supremasi konstitusi.
Kelrey mengatakan, putusan MK seharusnya menjadi rujukan final dan mengikat dalam praktik ketatanegaraan, bukan ditafsirkan ulang melalui peraturan internal institusi eksekutif. Menurutnya, ketika sebuah Perpol digunakan untuk memperluas makna atau ruang lingkup putusan MK, maka telah terjadi pergeseran kewenangan tafsir dari lembaga yudisial ke ranah administratif. “Dalam kondisi seperti ini, MK berisiko direduksi dari penjaga konstitusi menjadi sekadar referensi normatif,” ujar Kelrey. Jakarta, Rabu (17/12/2025)
Ia menegaskan bahwa klaim Kapolri yang menyebut Perpol 10/2025 sebagai implementasi putusan MK tidak cukup dinilai dari kepatuhan formal semata. “Implementasi putusan MK harus dilihat secara substansial, apakah benar-benar mematuhi batas konstitusional atau justru melampauinya,” katanya.
Lebih lanjut, Kelrey menyampaikan bahwa praktik kepatuhan formal namun pembangkangan substansial terhadap putusan pengadilan konstitusi pernah terjadi di sejumlah negara. Ia mencontohkan Hungaria dan Polandia, di mana pemerintah tetap menjalankan putusan pengadilan secara administratif, tetapi menerbitkan regulasi turunan yang mengosongkan makna putusan tersebut. “Model seperti ini dikenal sebagai pelemahan konstitusi secara sistemik dan halus,” tegasnya.
Menurut Kelrey, persoalan Perpol 10/2025 tidak semata menyangkut Polri sebagai institusi, melainkan menyentuh fondasi negara hukum Indonesia. Ia mengingatkan bahwa jika setiap lembaga eksekutif merasa berhak menafsirkan sendiri putusan MK melalui regulasi internal, maka daya ikat putusan MK akan melemah secara nyata meskipun tetap berlaku secara formal.
“Ini bukan soal mendukung atau menolak Polri, tetapi soal menjaga supremasi konstitusi,” kata Kelrey. Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa konstitusi tidak selalu dilemahkan melalui pelanggaran terbuka, melainkan melalui kepatuhan semu yang dinormalisasi. “Ketika tafsir pejabat administratif mulai mengungguli putusan MK, maka yang dipertaruhkan adalah masa depan negara hukum itu sendiri,” ujarnya.
















