Nusatoday.id –
Perpol 10/2025 menimbulkan pertanyaan krusial tentang kesesuaian antara peraturan internal lembaga dan prinsip hukum tertinggi di Indonesia. Di tengah respons yang saling bertolak belakang dari kalangan hukum, ada kekhawatiran bahwa langkah ini dapat menjadi preseden buruk dalam pemahaman hierarki norma hukum.
Mahfud MD dan sejumlah pakar hukum tata negara berpendapat bahwa Perpol ini bertentangan dengan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang tegas melarang anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa pensiun atau mengundurkan diri. Interpretasi ini menekankan pentingnya pemisahan fungsi dalam sistem hukum Indonesia.
Sebaliknya, terdapat pendapat lain yang mengatakan Perpol tersebut bersifat administratif dan teknis, tidak membuka ruang bagi penempatan otomatis tanpa memenuhi persyaratan hukum yang lebih tinggi. Kedua pandangan ini mencerminkan potensi ketidakpastian hukum yang bisa berdampak pada legitimasi sistem peraturan perundang-undangan.
Studi kasus internasional menunjukkan bahwa ketika badan penegak hukum membuat regulasi internal yang dianggap menyalahi konstitusi, maka terjadi peningkatan sengketa hukum sebesar 20%–30% dalam kurun lima tahun berikutnya (contoh di India dan Brasil pada 2018-2023). (Data direferensikan dari publikasi hukum komparatif Asia-Amerika Latin, 2024)
Kekhawatiran lain muncul di ranah kepastian hukum; pelaku hukum, pengusaha, dan warga negara menuntut aturan yang konsisten dan tidak multitafsir. Ketidakjelasan ini bisa menimbulkan beban pembuktian dalam pengawasan hukum dan memperlemah supremasi konstitusi.
Perdebatan ini juga mencerminkan kebutuhan mendesak akan harmonisasi peraturan internal lembaga dengan hierarki hukum nasional yang telah ditetapkan oleh UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Jika konflik penafsiran ini dibiarkan berlarut, maka implikasinya bisa mendorong meningkatnya litigasi konstitusional di MK dan menurunkan efektivitas hukum secara nasional.









