BRVOXHEADLINES

Perpol 10/2025 Diprotes, Aktivis Nilai Kapolri Abaikan Putusan MK dan Reformasi Internal Polri

×

Perpol 10/2025 Diprotes, Aktivis Nilai Kapolri Abaikan Putusan MK dan Reformasi Internal Polri

Sebarkan artikel ini
Abdullah Kelrey : Founder NIC.

Nusatoday.id – Kebijakan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo yang menerbitkan Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 menuai kritik luas dari masyarakat sipil. Aturan tersebut membuka ruang bagi anggota Polri aktif untuk ditugaskan di 17 kementerian dan lembaga negara, meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan bahwa polisi aktif dilarang menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu melalui Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025.

Perpol yang diundangkan pada 10 Desember 2025 itu dinilai berpotensi mengabaikan semangat putusan MK dan mencederai agenda reformasi kepolisian. Sejumlah kalangan menilai kebijakan ini memperlihatkan kecenderungan ekspansi peran Polri ke ranah sipil, di tengah masih besarnya pekerjaan rumah pembenahan internal institusi kepolisian.

Ketua Gerakan Pemerhati Kepolisian Republik Indonesia (GPK RI), Abdullah Kelrey, menilai Kapolri seharusnya menjadikan putusan MK sebagai momentum konsolidasi internal. Menurutnya, penerbitan Perpol 10/2025 justru memperkuat kesan bahwa pimpinan Polri lebih sibuk mengatur distribusi kekuasaan ketimbang menyelesaikan persoalan mendasar di tubuh institusi.

“Putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Ketika masih dicari celah melalui aturan internal, publik wajar menilai bahwa Polri tidak sepenuhnya patuh pada semangat konstitusi,” ujar Kelrey, yang juga Founder Nusa Ina Connection (NIC), Sabtu, (13/12/2025).

Dalam lima tahun terakhir (2021–2025), Polri tercatat menghadapi berbagai kasus serius yang berdampak langsung pada kepercayaan publik. Tahun 2021, Komnas HAM mencatat dugaan kekerasan aparat dalam penanganan unjuk rasa dan konflik agraria. Tahun 2022, publik diguncang kasus pembunuhan berencana Brigadir J yang melibatkan Irjen Ferdy Sambo dan menyeret lebih dari 30 anggota Polri dalam proses pidana dan etik. Tahun 2023, KontraS melaporkan ratusan peristiwa kekerasan oleh aparat kepolisian di berbagai wilayah. Tahun 2024, muncul kembali kasus pemerasan oleh oknum anggota Polri, penganiayaan warga hingga meninggal dunia, serta keterlibatan oknum aparat dalam jaringan narkotika dan dugaan korupsi anggaran pengamanan. Hingga 2025, laporan pemantauan masyarakat sipil menunjukkan pola pelanggaran etik dan penyalahgunaan kewenangan belum menunjukkan penurunan signifikan.

Kelrey menegaskan, data tersebut menunjukkan bahwa persoalan Polri bersifat internal dan struktural, bukan kekurangan ruang jabatan di luar institusi. Ia menilai peningkatan kesejahteraan anggota, reformasi sistem karier berbasis merit, serta penegakan hukum dan etik yang tegas tanpa pandang bulu harus menjadi prioritas utama.

“Beban kerja tinggi, tekanan ekonomi, dan budaya komando yang tidak sehat berkontribusi pada meningkatnya stres anggota. Jika ini tidak dibenahi, penyimpangan akan terus berulang,” katanya.

Menurut Kelrey, reformasi Polri harus diarahkan secara tegas ke dalam institusi. Ia mendorong penguatan pengawasan internal yang independen, transparansi penanganan pelanggaran, serta keterlibatan aktif lembaga pengawas eksternal seperti Komnas HAM dan Kompolnas.

“Reformasi kepolisian bukan soal menempatkan polisi aktif di banyak kementerian. Reformasi adalah keberanian membersihkan institusi sendiri demi mengembalikan kepercayaan rakyat,” tegasnya.

Ia menutup dengan peringatan bahwa kepercayaan publik tidak dapat dibangun melalui ekspansi kekuasaan, melainkan melalui konsistensi penegakan hukum yang adil dan humanis.

“Polri akan kuat jika dipercaya rakyat. Itu hanya bisa dicapai jika Kapolri fokus membenahi internal, bukan menabrak batas konstitusi,” pungkas Kelrey.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *