Nusatoday.id – Dari perspektif kebijakan politik, Perpol 10/2025 memicu perdebatan tajam tentang batas antara otoritas kepolisian dan fungsi politik sipil. Regulasi ini membuka kemungkinan bahwa anggota Polri aktif akan menempati posisi strategis di lembaga pemerintahan, yang secara tradisional dijaga netralnya dalam sistem demokrasi modern.
Dalam teori kebijakan politik, peran lembaga penegak hukum harus dipisahkan dari kekuasaan administratif politis untuk menjaga tatanan checks and balances. Ketika garis pemisah itu kabur, maka muncul potensi konflik kepentingan yang bisa menggeser keseimbangan kekuasaan dalam pemerintahan.
Kasus di Prancis dan Chile antara 2020–2024 menunjukkan bahwa keterlibatan aparat aktif dalam jabatan sipil cenderung mengurangi dukungan publik terhadap institusi penegak hukum, dengan tingkat keyakinan publik turun 10%–15% dalam survei independen. (Data berdasarkan riset Lembaga Survey Eropa-Amerika 2020-2024)
Perpol 10/2025 dipandang oleh sebagian elite politik sebagai upaya memperkuat koordinasi keamanan nasional lintas sektor, namun oleh sebagian lain justru dipandang sebagai bentuk ekspansi kekuasaan eksekutif melalui instrumen internal Polri.
Perspektif ini memperlihatkan bahwa keputusan politik untuk menerbitkan Perpol 10/2025 bukan sekadar administrasi internal, melainkan strategi politik dalam relasi antar lembaga negara. Dukungan DPR dan konsultasi dengan kementerian dinilai politis pragmatis, tetapi tetap saja mengundang kritik.
Dinamika politik domestik juga terpengaruh oleh respons publik di media sosial yang memperlihatkan polarisasi tajam terhadap kebijakan ini, mempengaruhi tingkat kepercayaan terhadap pemerintahan dan legislatif.
Dalam jangka panjang, implikasi politik dari Perpol ini akan sangat bergantung pada bagaimana implementasi kebijakan dilakukan, apakah mampu mempertahankan prinsip demokrasi dan netralitas lembaga negara atau justru mendorong konflik politik baru.







