Nusatoday.id -Perpol 10/2025: Menilai Dampak Kebijakan terhadap Sistem Keamanan Nasional dan Profesionalisme Polri
Dari sudut kebijakan keamanan nasional, Perpol 10/2025 menimbulkan kemungkinan perubahan dalam cara lembaga keamanan dan militer berkontribusi pada tugas pemerintahan sipil. Posisi anggota Polri aktif di kementerian atau lembaga sipil bisa menciptakan dinamika baru dalam koordinasi keamanan dan birokrasi pemerintahan.
Dalam teori kebijakan keamanan nasional, ada prinsip fundamental bahwa aparat keamanan harus fokus pada tugas inti: menjaga keamanan publik dan penegakan hukum di masyarakat. Ketika fungsi ini melebur dengan peran administratif sipil, muncul risiko blurred roles atau kaburnya batas peran.
Pengalaman di beberapa negara Asia dan Afrika menunjukkan bahwa penempatan aparat aktif dalam tugas sipil dapat menyebabkan konflik kepentingan strategis, serta mengaburkan prioritas nasional terhadap keamanan internal dan kebebasan sipil. Misalnya di beberapa negara, aparat aktif yang mengepalai agensi sipil dikaitkan dengan peningkatan respon keras terhadap demonstrasi sipil hingga 18% lebih tinggi dibanding negara dengan pemisahan tegas peran. (Data berdasarkan riset think tank internasional 2020-2024)
Pendukung Perpol berargumen bahwa keterlibatan anggota Polri dalam lembaga seperti BNPT, BSSN, atau LPN dapat memperkuat sinergi penanggulangan ancaman nasional yang kompleks seperti terorisme dan siber.
Namun, kritik menyatakan bahwa penguatan konektivitas keamanan jangan sampai mengorbankan prinsip profesionalisme penegakan hukum sipil, karena tugas keamanan nasional berbeda secara fundamental dari fungsi administratif pemerintahan sipil.
Isu keamanan ini juga berpotensi mengubah persepsi publik tentang peran Polri sebagai penjaga masyarakat versus aktor birokrasi, yang bisa berdampak jangka panjang pada kepercayaan masyarakat terhadap institusi keamanan.
Jika tidak diimbangi dengan mekanisme kontrol sipil yang kuat dan batasan peran yang jelas, Perpol ini dapat memicu ketegangan antara keamanan nasional dan hak sipil warga negara, sehingga memerlukan evaluasi kebijakan yang serius secara kolaboratif antara legislatif, eksekutif, dan masyarakat sipil.













