Nusatoday.id – Aktivitas tambang ilegal di Indonesia, yang melibatkan 1.517 lokasi dan 1.256 perkara yang diproses per 2025, menciptakan ketidakpastian berat bagi pelaku usaha resmi, terutama pada sektor mineral seperti emas, batubara, dan pasir.
Menurut data Pushep, setidaknya 418 kasus hukum terkait tambang ilegal menempuh proses peradilan nasional, mencerminkan tingginya tekanan legal terhadap pelanggar namun juga sejumlah information gaps di pengadilan yang mempersulit prediktabilitas hukum bagi investor.
Distorsi pasar terjadi karena pelaku ilegal tidak menanggung biaya kepatuhan yang sama seperti operator resmi, sehingga harga komoditas di wilayah tertentu menjadi tidak sehat. Ini juga mendorong praktik predatory pricing dan aliran pasokan yang tidak terdokumentasi dengan jelas, sehingga investor asing sering kali menilai Indonesia kurang stabil dibanding negara tetangga yang memiliki pengawasan lebih konsisten.
Kasus di India yang mencatat lebih dari 10.600 perkara tambang ilegal sejak 2019 memperlihatkan bagaimana penegakan yang lemah justru mencederai iklim investasi jangka panjang dalam sektor pertambangan.
Selain itu, keterbatasan data kasus dan audit potensi ekonomi membuat pelaku bisnis sulit melakukan perencanaan strategis, terutama ketika nilai komoditas global menurun atau berfluktuasi ekstrem.
Kurangnya transparansi ini menciptakan risk premium yang tinggi pada sektor tambang, di mana banyak investor institusi menunda keputusan karena ketidakpastian regulasi dan potensi kerugian tak terduga.
Dalam lima tahun terakhir, meskipun permintaan global terhadap mineral strategis seperti nikel dan emas meningkat, Indonesia belum mampu menarik porsi investasi optimal karena tata kelola tambang ilegal yang belum tuntas.
Untuk memulihkan kepercayaan pasar, pembaruan sistem informasi terintegrasi dan peningkatan kapasitas audit investor menjadi langkah kunci.













