Nusatoday.id – Puluhan warga Papua yang tergabung dalam Solidaritas Pro Demokrasi Sorong Se-Raya menggelar aksi memperingati 64 tahun deklarasi politik bangsa Papua Barat, Senin (1/12). Peringatan yang dipusatkan di sejumlah titik di Kota Sorong itu berlangsung sejak pukul 09.00 hingga 15.30 WIT, diwarnai long march, orasi politik, hingga ibadah bersama.
Aksi dimulai dari beberapa titik kumpul, seperti Ramayana Mall Sorong, lampu merah Kilometer 10, Malanu Kios Anda, Jalan Baru Jempuri, dan berakhir di lampu merah Remu, dekat Studio Foto Ellin. Di setiap titik tersebut, massa lebih dulu menggelar orasi politik sebelum bergabung menuju lokasi utama. Para peserta menyebut rangkaian kegiatan itu sebagai “panggung rakyat” untuk menyampaikan sejarah dan aspirasi politik terkait perjuangan Papua Barat.
Di sepanjang jalan, massa memblokade sejumlah ruas jalan utama Kota Sorong. Aksi berlangsung dalam suasana serius namun penuh semangat. Mereka membawa baliho bertuliskan peringatan “64 Tahun Kebangkitan Nasional Bangsa West Papua 1961–2025” dengan tema “Kobarkan Api Persatuan Nasional dan Wujudkan Kemerdekaan Bangsa West Papua.” Nyanyian massa terdengar lantang, termasuk lagu-lagu protes yang menyoroti ketidakadilan dan penolakan terhadap klaim kedaulatan Indonesia atas Papua.
Peringatan 1 Desember bagi sebagian masyarakat Papua dikaitkan dengan momen politik pada 1961, ketika bendera Bintang Kejora pertama kali dikibarkan di Hollandia, yang kini dikenal sebagai Jayapura. Namun, rangkaian operasi militer Indonesia pada masa Trikora, yang berlangsung sejak 19 Desember 1961 hingga 1962, dianggap oleh kelompok pro-demokrasi Papua sebagai awal hilangnya hak politik mereka akibat proses integrasi yang dipandang tidak sah.
Ratusan peserta aksi di Sorong mengawali kegiatan dengan doa bersama sebagai bentuk syukur dan simbol penyertaan Tuhan dalam perjuangan mereka. Setelah itu, mereka duduk di ruas jalan di bawah terik matahari sambil mengangkat bendera Bintang Kejora dan atribut organisasi perjuangan. Musel Safkaur bertindak sebagai moderator jalannya rangkaian orasi yang bergantian disampaikan oleh perwakilan berbagai organisasi.
Aktivis Papua, Appul Heluka, dalam orasinya menyebut bahwa pendidikan nasional Indonesia gagal mengakomodasi sejarah Papua dari perspektif orang Papua. Ia menilai pengetahuan sejarah di sekolah justru menanamkan ideologi kolonial dan menghilangkan narasi Papua tahun 1961 sebagai momentum penting bangsa Papua. Ia menegaskan bahwa bagi mereka, tahun itu menandai deklarasi politik bangsa Papua.
Sementara itu, Staf Khusus Presiden NFRPB Bidang Kemitraan yang juga menjabat Menteri Dalam Negeri NFRPB, Abraham Goram Gaman, mengajak masyarakat merefleksikan perjalanan panjang Papua sejak era kolonial Belanda hingga integrasi ke Indonesia. Ia menyebut kerangka hukum seperti UU Nomor 12 Tahun 1969 sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak politik orang Papua. Dalam orasinya, ia menekankan bahwa Papua dan Indonesia merupakan dua entitas berbeda yang sebenarnya tidak berada dalam satu sejarah pembentukan negara yang sama.
Abraham menambahkan bahwa perjuangan yang dilakukan bukan untuk melawan Indonesia, tetapi untuk menegakkan hak-hak bangsa Papua yang menurutnya memiliki ratusan suku dan bahasa, sehingga berhak menentukan nasib sendiri. Ia juga menyoroti perjanjian New York Agreement 1962 sebagai dasar yang masih diperdebatkan terkait status Papua di Indonesia.
Ketua Presidium Front Nasional Mahasiswa Pemuda Papua, Sayang Mandabayan, menyatakan bahwa peringatan 1 Desember bukan sekadar tradisi tahunan, tetapi bagian dari upaya mempertahankan tanah adat Papua. Ia menilai eksploitasi sumber daya alam serta operasi keamanan telah memicu perlawanan masyarakat, baik secara sipil maupun melalui jalur diplomasi. Menurutnya, tindakan perlawanan merupakan bagian dari upaya mempertahankan hidup dan martabat manusia.
Ia juga mengajak seluruh masyarakat Papua bersatu tanpa teralihkan oleh kegiatan lain yang digelar pada periode yang sama. Ia menyebut 1 dan 10 Desember sebagai momentum politik penting yang harus dijaga oleh rakyat Papua. Mandabayan menilai bahwa Papua memiliki peran strategis sebagai “paru-paru dunia” yang hanya bisa terlindungi bila dikelola oleh orang Papua sendiri.
Selain orasi, aksi ini juga diisi dengan pembacaan puisi, nyanyian bersama, pemotongan kue, serta pembacaan pernyataan sikap yang kemudian ditutup dengan doa bersama dan dokumentasi. Para peserta menegaskan komitmen untuk terus memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai hak kemerdekaan bangsa Papua Barat.
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan pada akhir aksi, massa menyuarakan bahwa keberadaan Indonesia di Papua dianggap tidak sah menurut perspektif mereka, sehingga hak politik bangsa Papua harus dikembalikan. Mereka juga menyerukan persatuan seluruh faksi perjuangan Papua, mendukung Komnas TPNPB-OPM, serta menolak berbagai operasi militer dan proyek pembangunan berskala nasional di Papua. Mereka juga meminta pemerintah menarik pasukan militer, membuka akses jurnalis nasional dan internasional, serta memulangkan para pengungsi ke wilayah masing-masing.
Selain itu, massa menyampaikan solidaritas terhadap sejumlah perjuangan internasional, termasuk dukungan terhadap kemerdekaan Palestina, Bogainville, dan Kaledonia Baru, serta mengecam sanksi Amerika Serikat terhadap negara-negara seperti Kuba, Venezuela, dan Iran. Mereka juga menyuarakan solidaritas terhadap gerakan rakyat Indonesia dalam aksi perlawanan Agustus dan mendesak pembebasan tahanan yang mereka sebut sebagai kawan perjuangan.
Aksi yang berlangsung damai itu ditutup pada sore hari dengan pesan bahwa perjuangan akan terus dilakukan hingga Papua Barat dapat menentukan masa depannya di atas tanah sendiri.
Penulis: Eskop Wisabla











