PERSPEKTIF

Gagalnya Kepemimpinan Keamanan Dalam Koflik Kei, SBT dan Kailolo

×

Gagalnya Kepemimpinan Keamanan Dalam Koflik Kei, SBT dan Kailolo

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi

Oleh : Saldi Matdoan (Akademisi Universitas Negeri Yogyakarta).

Nusatoday.id – Kericuhan yang melibatkan tiga kelompok masyarakat Kei, sbt dan Kailolo merupakan bukti nyata kegagalan kepemimpinan keamanan di Maluku. Peristiwa ini tidak dapat lagi dibingkai sebagai konflik spontan, melainkan sebagai konsekuensi langsung dari lemahnya kontrol negara dalam mengelola potensi konflik sosial yang telah lama terakumulasi.

Dalam kajian konflik sosial, setiap kekerasan horizontal selalu diawali oleh tanda-tanda awal yang dapat diidentifikasi. Ketidakmampuan aparat kepolisian mendeteksi dan merespons eskalasi ketegangan menunjukkan bahwa sistem intelijen dan pemetaan konflik di tingkat daerah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ini bukan sekadar kelalaian teknis, tetapi kegagalan struktural.

Pendekatan keamanan yang diterapkan Kapolda Maluku cenderung reaktif dan simbolik. Aparat bergerak setelah kekerasan terjadi, sementara fungsi pencegahan diabaikan. Pola ini mencerminkan absennya visi strategis dalam kepemimpinan keamanan daerah dan bertentangan dengan prinsip dasar preventive policing.

Lebih jauh, penegakan hukum yang lemah dan tidak konsisten memperparah situasi. Ketika aktor provokator tidak segera ditindak, negara secara tidak langsung memberi ruang legitimasi terhadap kekerasan. Dalam perspektif negara hukum, pembiaran semacam ini merupakan bentuk kegagalan otoritas publik.

Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan konflik menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian. Aparat yang seharusnya menjadi pelindung justru dipersepsikan tidak hadir pada saat masyarakat paling membutuhkan rasa aman.

Ironisnya, Maluku memiliki kekuatan sosial-budaya dan mekanisme adat yang selama ini terbukti efektif meredam konflik. Namun Kapolda Maluku gagal mengintegrasikan pendekatan kultural ini dalam kebijakan keamanan. Ketidakpekaan terhadap konteks lokal menunjukkan lemahnya kapasitas kepemimpinan berbasis wilayah.

Konflik ini juga menyingkap orientasi keamanan yang masih berpusat pada stabilitas semu, bukan pada perlindungan manusia. Dampak konflik terhadap ekonomi rakyat, pendidikan, dan relasi sosial menunjukkan bahwa paradigma human security belum menjadi pijakan kebijakan keamanan di Maluku.

Secara akademik, kegagalan ini tidak dapat dilepaskan dari persoalan tata kelola institusi. Tanpa evaluasi menyeluruh terhadap struktur komando, pola pengambilan keputusan, dan mekanisme pengawasan internal, konflik serupa akan terus berulang.

Community policing yang selama ini dikampanyekan tampak sebatas jargon. Minimnya keterlibatan masyarakat dalam sistem keamanan menunjukkan adanya jarak antara konsep kebijakan dan praktik di lapangan.

Ketiadaan sistem early warning berbasis komunitas mempertegas bahwa kepolisian belum memandang masyarakat sebagai sumber utama informasi dan mitra strategis keamanan.

Oleh karena itu, publik berhak mempertanyakan kapasitas Kapolda Maluku dalam menjalankan mandat konstitusional menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Kritik ini bukan serangan personal, melainkan tuntutan atas tanggung jawab jabatan publik.

Jika kepemimpinan keamanan tidak mampu belajar dari konflik, maka yang dipertaruhkan bukan hanya stabilitas daerah, tetapi legitimasi negara di mata masyarakat.

Sudah saatnya dilakukan koreksi serius terhadap kebijakan dan kepemimpinan keamanan di Maluku. Evaluasi kinerja harus dilakukan secara terbuka, terukur, dan melibatkan pengawasan publik.
Tanpa perubahan mendasar, konflik horizontal akan terus menjadi pola berulang yang menggerogoti harmoni sosial dan menghambat pembangunan daerah.

Keamanan bukan privilese aparat, melainkan hak dasar warga negara. Ketika hak itu gagal dijamin, maka kritik keras dari publik dan kalangan akademisi menjadi sebuah keniscayaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *